Strategi Hukuman Mati, Sebagai Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Gagasan
dalam essay ini adalah untuk menguatkan keberadaan implementasi hukuman mati
bagi pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia. Hal tersebut dilaterbelakangi
atas berbagai bentuk permasalahan yakni Pertama, pada aspek substansi
peraturan, Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang berkategori luar
biasa (extra ordinary crime). Konsekuensi dari hal tersebut mengharuskan
penganggulangan dari aspek yuridis, yang luar
biasa pula.[1] Kedua,
Birokrasi merupakan pihak yang memiliki peluang terbesar terjadinya korupsi,
justru merupakan pihak yang memiliki frekuensi
keterlibatan kasus korupsi paling banyak. Sebagaimana data yang telah
dihimpun oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Sebagaimana menurut Mahfud MD,
korupsi sulit diberantas karena birokrasi penegekan hukum Indonesia adalah
birokrasi lama yang mewarisi penyakit korupsi sangat kronis. Lembaga penegak
hukum yang seharusnya menangani korupsi justru terbelit oleh korupsi itu
sendiri.
Negara Indonesia dalam melakukan
pemberantasan korupsi telah mengakui pidana mati, dalam penjatuhan sanksi bagi
pelaku tindak pidana korupsi. Namun, pada aspek penerapannya terdapat berbagai
bentuk hambatan. Pertama, penjatuhan
hukuman pidana mati hanya didasarkan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, negara dalam keadaan bencana nasional, krisis
moneter dan karena pengulangan tindak pidana korupsi. Kedua, ancaman pidana mati hanya
diperuntukkan bagi pelaku tindak pidana korupsi yang melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri/ orang lain/ suatu korporasi secara melawan hukum sebagaimana
tercantum dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.
Konsekuensinya pelanggaran terhadap ketentuan pasal 2 ayat (1) maka pidana mati
tidak dapat diberlakukan.
Berdasarkan hal tersebut, menurut hemat
penulis perlu adanya strategi baru dalam penerapan hukuman mati di
Indonesia sebagai wujud suatu tindakan
hukum yang terbuka (open legal capacity),
meliputi hal-hal sebagaimana berikut. Pertama,
Rekonstruksi pengaturan pidana mati hendaknya menempati ruang lingkup yang
lebih luas yakni penjatuhan pidana mati tidak hanya bagi pelaku yang melanggar
ketentuan Pasal 2 ayat (1) tetapi terhadap ketentuan pasal-pasal lain seperti
Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 12B dan lain sebagainya. Sebab tidak
menutup kemungkinan bahwa tindak pidana yang datur di dalam Pasal 2 ayat (1)
merupakan tindak pidana yang paling berat dibandingkan dengan tindak pidana
lainnya. Kedua, Penggunaan konsep
campuran yakni dengan merujuk Negara Cina penerapan hukuman mati tersebut
berlaku tetapi masih dalam batas-batas rasional, yaitu memberlakukan jangka
waktu tertentu (10 tahun) terhadap pelaku untuk memenuhi panggilan tersebut. Di
sisi lain Metode pemberlakuan sanksi hukuman mati perlu memerhatikan teknis
pelaksanaan eksekusinya, hal tersebut dapat dilaksanakan dengan cara pemberian
suntikan atau semacamnya. Selama ini metode hukuman mati hanya dilakukan lewat
tembak mati sesuai dengan UU No.2/PNPS/1964.
Ketiga, Pembaharuan
aturan sanksi Hukuman mati terkait tindak pidana korupsi hendaknya diarahkan sesuai
dengan nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat. Pembaharuan hukum khususnya di
bidang hukum pidana pada hakikatnya bermakna suatu upaya untuk melakukan
reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang
melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di
Indonesia. Jika, dibenturkan dengan permasalahan Hak Asasi Manusia. Sejatinya
tindak pidana korupsi merupakan bentuk perampasan terhadap rakyat untuk
mendapatkan hak hidup yang layak. Korupsi termasuk kejahatan kemanusiaan yang
tidak hanya berakibat pada fisik, tetapi moral, mental dan intelegensia.
Di Susun Oleh : Hilyatul Asfia, Aktif dalam Forum Kajian dan Penulisan Hukum, Founder Perantau Berkarya Palangkaraya
[1]
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, dan
Masalahnya, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 252.
Komentar
Posting Komentar