Wacana Sertifikasi Khatib : Bentuk Penilaian atau Pembinaan
“ Sampaikanlah dariku walau satu ayat”
Merupakan perintah yang disampaikan Rasulullah SAW bagi setiap muslim
untuk berdakwah. Realita penganut agama Islam dakwah dilakukan dalam berbagai
bentuk salah satunya pada acara keagamaan khususnya pada waktu ibadah salat
Jum’at yang disampaikan oleh seorang “Khatib”.
Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan dengan wacana dari pemangku
kebijakan (pemerintah) melalui Kementerian Agama untuk melakukan sertifikasi Khatib. Hal tersebut dilakukan agar materi yang
disampaikan baik dan benar serta mencegah terjadinya bentuk penghasutan
atau provokasi yang dapat menimbulkan perpecahan. Seyogianya, wacana
sertifikasi terhadap pemuka agama ini pernah terjadi sebelumnya pada tahun 2012,
hanya saja berupa sertifikasi terhadap ulama dan hal tersebut ditolak dengan keras oleh sebagian besar kalangan
masyarakat.
Sebagai Bentuk Penilaian
Menurut hemat penulis, Pemberlakuan sertifikasi khatib hendaknya tidak
menjadi ajang penilaian oleh pemerintah, yakni sebagai bentuk kualifikasi
terhadap pihak yang dianggap mampu untuk melakukan pekerjaannya, karena justru
akan mereduksi masyarakat sebagai pihak penilai yang bersifat alamiah. Sertifikasi
dengan mekanisme tersebut tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan peluang
penyalahgunaan kekuasaan dari pemerintah sehingga bersikap antikritik.
Pemerintah dengan kebijakan melarang para pihak yang tidak memiliki sertifikasi
atau menyampaikan ajaran yang bertentangan dengan ketentuan pemerintah layaknya
pada masa orde baru merupakan langkah pembatasan ruang gerak seseorang dalam menyampaikan
ajaranmya khususnya bagi seorang muslim yang merupakan suatu kewajiban
panggilan agama. Sekalipun ajaran tersebut bersifat kritikan terhadap
pemerintah. Layaknya sabda Rasulullah SAW “Katakanlah
yang benar walaupun kebenaran itu pahit". Penggunaan mekanisme sertifikasi
sebagai bentuk penilaian justru menimbulkan evil causis evil vallacy yakni suatu
kondisi buruk yang terjadi di tengah masyarakat disebabkan kondisi buruk yang
memengaruhinya.
Sebagai Bentuk Pembinaan
Berdasarkan paparan sebelumnya, hendaknya pemerintah melakukan bentuk
pembinaan guna meningkatkan kualitas dan kompetensi seorang khatib. Melalui
bentuk pemberdayaan dengan melibatkan ormas-ormas keagamaan dan Majelis Ulama
Indonesia melalui pelatihan dan pendampingan (mentoring)
yang dilakukan secara berkesinambungan. Sebagai langkah yang akan
memberikan bentuk penjagaan martabat khatib dan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, pemberdayaan tersebut tidak hanya diaplikasikan bagi penganut agama
islam, namun terhadap agama lainnya agar tidak timbulnya kebijakan yang
mengarah pada bentuk diskriminasi.
Peran pemerintah dalam bentuk pemberdayaan
tersebut diaplikasikan melalui peran masyarakat sebagai pihak pengawas dan penilai.
Penilaian masyarakat terhadap para khatib yang
dianggap tidak memiliki kompetensi diselesaikan melalui nilai-nilai moralitas
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Serta, dengan menerapkan suatu
Konsep Pembaharuan yakni dengan
menemukan suatu prosedur/sistem pengaduan (grievance
procedure/system) yang jelas agar masyarakat didalamnya dapat
berpartisipasi terhadap para khatib atau pemuka agama yang dianggap telah
melakukan kesalahan besar yang dapat menimbulkan kerugian terhadap pihak lain, khususnya
berkategori unsur pelanggaran terhadap aturan yang berlaku, karena dalam setiap
formasi perintah kuasa rakyatlah pembentuk hukum yang sejati.
Di tulis Oleh : Hilyatul Asfia
Dimaut Surat Kabar Harian Kalteng Pos
Edisi 22-02-2017
Komentar
Posting Komentar