Menakar Wacana Revisi Undang-Undang Ormas
Eksistensi Organisasi Masyarakat (ormas) di
Indonesia semakin melejit. Tercatat tidak kurang terdapat 250 ribu ormas
tersebar di Indonesia. Pertumbuhan ormas tersebut sebagai wujud keberagaman
para pihak dengan ciri khas yang berbeda untuk mewujudkan tujuannya dalam
bingkai kesatuan Pancasila. Pertumbuhan tersebut diiringi perkembangan karakter
dan perilaku ormas, sehingga cenderung menimbulkan permasalahan.
Keberadaan ormas yang dinilai bertentangan dengan
Pancasila cukup menjadi trending topic akhir-akhir
ini. Menyikapi permasalahan tersebut pemerintah mewacanakan untuk merevisi UU
No 17/2013 tentang Organisasi Masyarakat. Wacana revisi tersebut digulirkan
lantaran tahapan pemberian sanksi terhadap ormas yang kegiatannya bertentangan
dengan Pancasila dinilai terlalu rumit. Sehingga sanksi untuk membubarkan ormas
menjadi sulit dilaksanakan.
Pasal 59 UU No 17/2013 tentang Ormas menegaskan
bahwa “Ormas dilarang menganut,
mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan
Pancasila.” Namun, ketentuan ini dinilai lemah untuk ditegakkan tatkala
dibenturkan dengan realitas Ormas yang diduga bertentangan dengan Pancasila. Pemberian
sanksi terhadap ormas yang diketahui telah melanggar, dinilai rumit untuk
dilaksanakan sehingga menghambat jalannya pembubaran ormas.
Menurut hemat penulis, Penerapan sanksi terhadap
ormas yang aktivitasnya bertentangan dengan Pancasila sudah cukup ideal diatur
dalam UU No 17/ 2013 tentang Ormas. Penerapan sanksi tersebut dilakukan melalui
tiga tahapan yakni teguran tertulis, pembekuan sementara dan pembubaran ormas. Teguran tertulis disampaikan paling banyak 3
(tiga) kali dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. Apabila teguran tersebut
tidak diindahkan maka Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai ruang lingkup
kewenanangannya dapat membekukan sementara aktivitas Ormas paling lama 30
(tiga) puluh hari berdasar putusan yang dimohonkan ke Pengadilan Negeri atau
Mahkamah Agung. Setelah dilakukan pembekuan sementara, namun Ormas tersebut
masih melakukan pelanggaran maka dapat diberlakukan pembubaran atas permohonan
yang diajukan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Pengadilan Negeri
untuk Ormas kabupaten/kota dan Ormas Provinsi atau kepada Mahkamah Agung untuk
Ormas Nasional. Selanjutnya, pengadilan negeri atau Mahkamah Agung memberikan
putusan terhadap pembubaran ormas tersebut.
Penulis berpandangan bahwa tahapan-tahapan
tersebut sejatinya merupakan bentuk pembatasan terhadap gerak pemerintah agar
tidak menerapkan kekuasaan yang tirani. Ketentuan tersebut justru mengatur
keberadaan ormas tanpa terlalu membatasi. Hal inilah yang kemudian menurut
Denny Indrayana (Kompas, 19/1/2017) dinamakan hukum yang seimbang, dimana hukum
bekerja secara proporsional tanpa terlalu membatasi. Oleh karena itu, hendaknya
pemerintah tidak melakukan revisi terhadap UU Ormas yang berlaku saat ini.
Melainkan, memperkuat peran pemerintah dengan memberikan pembinaan Ormas
melalui kebijakan, penguatan peran Pemerintah dalam penguatan kapasitas kelembagaan,
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), serta pengawasan sebagaimana
yang diamanatkan Pasal 40 UU No 17/2013 tentang Ormas.
Pertama, memfasilitasi pemberdayaan Ormas melalui kebijakan yang
ditempuh melalui pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mendukung
pemberdayaan ormas. Namun, jika yang dilakukan adalah merevisi ketentuan
pemberlakuan sanksi tidak menutup kemungkinan akan membatasi kebebasan Ormas
sebagai wadah yang menjalankan kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat. Selain itu, jika ormas yang terbukti melakukan pelanggaran kemudian dibubarkan
bisa saja setelahnya akan mendirikan ormas baru lagi, karena yang menjadi
permasalahan bukan ormasnya melainkan pihak yang terlibat didalamnya. Maka dari
itu yang dibutuhkan adalah kebijakan pembinaan terhadap ormas. Pemerintah perlu
menghimpun keanekaragaman ormas yang ada dan membangkitkan semangat persatuan
didalamya. Sebagaiamna konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme), yang
digunakan Proklamator bangsa untuk menyatukan semua golongan, karena senjata
satu-satunya adalah persatuan, dengan persatuanlah adanya kekuatan.
Kedua, Peningkatan kualitas
sumber daya manusia yang tergabung dalam
organisasi masyarakat perlu dilakukan. Untuk menghasilkan output yang baik maka
perlu diperhatikan kualitas inputnya. Pemerintah berperan dalam memberikan
pelatihan, kursus, pendidikan yang dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan.
Ketiga, Pemerintah perlu
menguatkan perannya dalam bidang pengawasan sebagaimana diamanatkan Pasal 50 UU No 17/2013 tentang Ormas. Pengawasan dilakukan
sebagai upaya untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang
pelaksanaan tugas atau kegiatan Ormas. Pengawasan diarahkan sepenuhnya untuk
menghindari adanya kemungkinan penyelewengan.
Di tulis Oleh : Hilyatul Asfia
Dimuat di Harian Jateng.com
1 Februari 2017
Komentar
Posting Komentar