Presidential Treshold 0% Sebagai Wujud Implementasi Sistem Politik yang Bermartabat
Gagasan
dalam penulisan ini adalah untuk mencipatakan konsep Presidential Treshold (PT)
melalui ambang batas 0 persen (0%), pada pemilihan calon presiden dan wakil
presiden, sebagai upaya pengakomodiran sistem politik yang demokratis. Hal
tersebut dilandasi atas berbagai bentuk permasalahan. Pada prakteknya di
Indonesia, PT dengan bentuk 20% timbul sebagai bentuk implikasi terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. Pada perkembangannya, RUU
Pemilu 2019 menurunkan presentase PT dari 20% menjadi 10%. Namun, adanya ambang
batas tersebut menurut hemat penulis merupakan bentuk yang dapat menciderai
esensi demokrasi.
Pertama,
Keberadaan PT bersifat inkonstitusional, yakni kebebasan setiap orang untuk
mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden, selama diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peseerta pemilihan umum.( Pasal 6A
Ayat (2) dan Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945). Hal tersebut mengindikasikan, bahwa
partai politik tanpa ambang batas sekalipun berhak untuk mencalonkan presiden
usulannya dikontestasi pemilu (termasuk partai dengan perolehan suara terkecil).
Jika, ambang batas diberlakukan maka partai-partai besar akan semakin
mendominasi di parlemen. Sehingga, kepemimpinan pemerintahan yang dijalankan
akan mengarah pada suatu sistem yang cenderung otoriter dan mengesampingkan
kedudukan yang sama bagi setiap elemen.
Sejatinya,
pelaksanaan pemilu di Indonesia selama ini telah menunjukkan kecerdasan rakyat
Indonesia dalam memilih. Rakyat mengetahui apa partai yang tepat untuk duduk di
parlemen dan mana figur yang tepat menjadi presiden. Tak jarang, pilihan antara
partai dan presiden tersebut dapat berbeda-beda. Sehingga, adanya presidential threshold sendiri merupakan
suatu bentuk pengekangan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dalam
memilih pemimpinnya. Padahal, salah satu tujuan amandemen itu sendiri adalah
melindungi hak-hak minoritas (Tusalem RF, 2015: 502-37), seperti halnya calon
presiden yang berasal dari partai bukan pemenang pemilu.
Berdasarkan
permasalahan tersebut maka penulis memberikan beberapa langkah solutif terhadap
dilematisnya penetapan PT dalam penyelenggaran pemilu presiden di Indonesia.
Melalui perubahan sistem penetapan PT yakni 0% atau dapat disebut penghapusan
PT. Sebagai bentuk upaya sistem
hukum yang terbuka atau open legal
capacity. (Denny Indrayana : 2015: 35).
Seyogianya,
penetapan PT 0% pada pemilihan
presiden dan wakil presiden menjadikan partai-partai kecil berpeluang
mengajukan capres dan cawapresnya. Rakyat memiliki lebih banyak pilihan dalam
memilih calon pemimpinnya, bahkan dapat mencalonkan diri sebagai presiden dari
partai-partai tertentu. Karena, semakin banyaknya calon akan menjadikan semakin
selektifnya rakyat dalam memilih, sehingga tercapainya aspirasi rakyat atau
demokrasi.
Disisi
lain, PT merupakan solusi dalam menyelesaikan permasalahan pemilu yakni masalah
golongan putih (golput) atau para pihak yang tidak menggunakan hak pilihnya.
Sebab, salah satu yang menjadi alasan rakyat memilih untuk golput ialah
terbatasnya jumlah calon pasangan presiden dan wakil presiden yang ditawarkan
tiap kali pemilu diselenggarakan. Jika PT diterapkan maka rakyat akan
disuguhkan dengan berbagai bentuk calon yang memiliki kompetensi dan
kredibilitas masing-masing.
Penetapan
ambang batas atau PT 0% pada dasarnya mampu meminimalisir dan mencegah
terjadinya politik transaksional atau yang lebih dikenal dengan politik dagang
sapi (Evelyn Ruppert dan Mike Savage, 2011: 73-92). Partai-partai politik tidak
perlu berkoalisi untuk mengusung satu calon presiden yang pada akhirnya menuju
pada transaksi dan proporsi jabatan. Sebab, selama ini politik transaksional
telah merugikan rakyat banyak. Hak perogratif presiden seolah-olah tergadaikan
dengan partai-partai politik besar.
Oleh
karena itu, Peniadaan presidential
threshold sejatinya mempermudah presiden dalam menjalankan tugasnya.
Presiden akan lebih leluasa mengemban kewajibannya tanpa adanya intervensi dari
luar. Karena pada dasarnya kedudukan presiden dalam menjalankan roda
pemerintahan tidak dapat dipengaruhi oleh formasi politik parlemen hasil pemilu
legislatif.
Berdasarkan
pembahasan di atas maka, penerapan PT tersebut dilaksanakan atas beberapa
tahapan yakni, pertama pembentukan
payung hukum Perlunya payung hukum tentang penghapusan presidential threshold yakni
dengan ambang batas 0%. Kedua, perlu
adanya sosialisasi terkait pemilu dan mekanisme pelaksanaan pemilu dari
pemerintah kepada masyarakat. Sosialisasi memiliki peranan penting yang dapat
mempengaruhi kualitas interaksi antara masyarakat dengan pemerintahnya. (Graber
:2002: 197). Ketiga, Penerapan PT tersebut jika lebih dari 5 calon maka
dilaksanakan dengan 2x (dua kali) putaran. Mengingat penetapan PT 0%, akan
memberikan dampak tingginya minat untuk menjadi calon presiden-wapres, sulit
diharapkan pemilihan presiden-wapres akan selesai dalam satu putaran.
Pelaksanaan
PT 0% dengan tiga tahapan di atas merupakan suatu bentuk ikhtiar dalam
mewujudkan sistem politik yang demokratis dan bermartabat. Hal ini dapat
memberikan manfaat yang sangat signifikan dalam sistem demokrasi indonesia.
Kebijakan ini bisa menjadi pemulihan terhadap hak-hak konstitusional ( remedy of constitusional right) yang
sebelumnya terlukai dengan adanya presidential
treshold.
ditulis oleh : Hilyatul Asfia
dimuat Harian KaltengPos
Selasa 4 Jul 2017
Komentar
Posting Komentar