Menyikapi Polemik Kepala Daerah “Ibu Kota” Berstatus Terdakwa
Pemberhentian
sementara kepala daerah berstatus “terdakwa” diatur didalam Pasal 83 Ayat (1),
(2), dan (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjelaskan
bahwa kepala daerah yang didakwa telah melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana penjara paling sedikit lima tahun maka dapat
diberhentikan sementara dari masa jabatannya.
Kenyataan
dilapangan, kasus yang melibatkan Kepala Daerah Ibu Kota yang berstatus sebagai
terdakwa namun dapat kembali menempati jabatannya secara aktif sebagai Kepala
Daerah Ibu Kota. Kepala Daerah tersebut didakwakan dengan pasal alternatif. Pasal
alternatif merupakan bentuk dakwaan yang disusun berlapis dan mengecualikan
pasal lainnya jika salah satu dakwaan pasal telah terbukti. Pada prakteknya
pasal alternatif yang disangkakan diancam hukuman 5 tahun penjara dan 4 tahun
penjara. Keberadaan pasal dengan ancaman 4 tahun penjara menjadi salah satu
alasan guna melanggengkan kepala daerah bersangkutan untuk tetap menjabat
sebagai Kepala Daerah tanpa harus diberhentikan sementara, dengan berbagai
bentuk alasan terkait.
Timbulnya Ketidakpastian Hukum
Pemberhentian
sementara yang tidak diterapkan pada kasus ini menurut hemat penulis merupakan
bentuk timbulnya ketidakpastian hukum. Pertama,
secara filosofis Semangat keberadaan UU 23 Tahun 2014 adalah melakukan bentuk
penataan ulang urusan, penguatan,
terhadap kepala daerah, kepala daerah yang bersifat bersih, profesional
dan berintegritas. Menghendaki terselenggaranya peranan pemerintah daerah yang
mampu melaksanakan kewenangannya dengan berorientasi pada pelayanan dasar bukan
hanya kekuasaan, guna terciptanya good governance. Dalam kasus ini
timbulnya legal gap yakni terjadinya disparitas antara hukum yang tertulis dan kenyaatan
dimasyarakat. Bagaimana mungkin
seorang kepala daerah yang berstatus terdakwa yakni sebagai pihak yang diduga melakukan tindak
pidana serta telah memenuhi alasan untuk diadili menurut J.C.T. Simorangkir,
kemudian dapat menjadi penyokong pemerintah daerahnya.
Kedua,
secara yuridis, kebijakan tersebut
telah menciderai kewajiban seorang Kepala Daerah yang seyogianya harus menaati
seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diamanatkan
Pasal 67 huruf e UU No. 23 Tahun 2014. Termasuk ketentuan yang diatur didalam
Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2016. Seyogianya, penggunaan salah satu pasal dengan dakwaan ancaman pidana maksimal
5 tahun menimbulkan konsekuensi harus adanya pemberhentian sementara bagi
Kepala Daerah bersangkutan, tanpa terkecuali.
Mengacu
pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana BAB 1 Pasal 1 Butir 15 KUHAP
menjelaskan bahwa status terdakwa adalah pihak yang dituntut, diperiksa dan
diadili didalam sidang pengadilan. Sehingga, ketika terdakwa telah dituntut
berdasar pasal yang bersangkutan dalam hal ini unsur pidana dengan hukuman
maksimal lima tahun, maka patut kiranya penerapan amanat Pasal 82 UU No. 23
Tahun 2016 dijalankan. Selain itu, negara Indonesia adalah negara hukum bunyi
Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945, merupakan amanat konstitusi yang merupakan supreme of the land. Yakni, Pedoman
terhadap seluruh penyelenggaraan negara. Konsekuensinya setiap aturan hukum
yang ada haruslah dipenuhi dan dijalankan dengan sebaik-baiknya tanpa
terkecuali.
Pada
aspek Sosiologis, tidak dapat
dikesampingkan keberadaan Kepala Daerah yang berstatus terdakwa bertentangan
dengan sebagian hati nurani rakyat. Meskipun status “terdakwa” tersebut masih
dapat terbebas dari tuduhan pidana kepadanya terkecuali orang tersebut telah dikenakan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap atau dikenal dengan istilah terpidana. Namun,
keberadaan status terdakwa yang melekat pada kepala daerah mencerminkan dugaan
adanya tindak pidana dan telah memenuhi alasan untuk diperiksa.
Di sisi lain, dapat menimbulkan tumbuhnya
sifat apatis dikalangan masyarakat, hak persamaan dihadapan hukum bagi seluruh
golongan masyarakat tidak menyentuh golongan penguasa. Berkaca dari sudut
pandang seorang terdakwa akan sulit kiranya membagi kepentingan antara
menyelesaikan perkara yang melibatkan dirinya, atau memberikan pelayanan secara
penuh bagi masyarakat.
Oleh
karena itu perlu kiranya aplikasi dari penerapan suatu bentuk kepastian hukum,
pemberhentian sementara bagi kepala daerah yang berstatus terdakwa dan telah
memenuhi unsur Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah. Sebagaimana penerapan asas legalitas dalam aturan hukum. Nullum delictum noela poena sine praevia
lege poenali (tidak ada suatu perbuatan dapat dihukum tanpa peraturan yang
mengaturnya terlebih dahulu).
Negara
adalah keseluruhan dari keluarga dengan segala miliknya, yang dipimpin oleh
akal dari seorang penguasa yang berdaulat. Oleh karena itu, masyarakat
membutuhkan sosok pemimpin (Kepala Daerah) yang memiliki integritas,
kredibilitas serta kompetensi yang mampu mengakomodir kepentingannya,
Ditulis Oleh : Hilyatul Asfia
dimuat oleh Harian Kalteng Pos
Jum'at 24 Februari 2017
Komentar
Posting Komentar