Demoralisasi Pejabat Negara dalam Etika Berprofesi Hukum (AntaraKalteng.news.com)
Beberapa waktu lalu rakyat dihebohkan dengan
peristiwa tidak bermoral dan beretika yang dilakukan oleh sebagian para pejabat
negara. Salah satunya, kasus perzinahan yang melibatkan Bupati Katingan, kasus
korupsi yang menjerat para pemimpin elite partai politik, dan aparat penegak
hukum. Pejabat negara sejatinya adalah sosok percontohan bagi rakyatnya yang
memiliki kekuasaan atas kepemimpinannya.
Menurut John Sallisbury pemimpin, merupakan
jantung masyarakat yang harus diisi oleh orang-orang pandai. Jabatan seorang
pemimpin datang disertai hak dan kewenangan untuk memimpin orang lain. Artinya,
kekuasaan yang dipimpin oleh para pihak yang tidak mmeiliki kompetensi dan
kredibilitas justru dapat membuka lebar penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power.
Kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat negara,
akan tunduk dan patuh pada aturan hukum yang berlaku. Hukum seyogianya dapat
mengakomodir kepentingan masyarakat dalam berbagai aspek. Namun, realitanya terdapat
penga pelanggaran nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat masih dapat
melanggengkan kekuasaan yang dimiliki oleh para pejabat tidak bermoral, karena
tidak adanya aturan hukum yang mengatur secara spesifik.
Hal inilah yang disebut “Het
recht hink achter de feiten ann”, bahwa hukum tertulis ketinggalan
dalam peristiwanya.
Padahal dalam proses penyelenggaraan bernegara, Konstitusi dengan tegas
memberikan pembatasan-pembatasan yang tidak hanya dibatasi pada suatu aturan
namun tunduk dan patuh pada nilai-nilai moralitas kehidupan (Pasal 28 J).
Hal ini tak pelak, menjadi suatu permasalahan
yang perlu kita hindari bersama. Seyogianya, Kebebasan dalam berperilaku adalah
hak yang diperbolehkan untuk melakukan apa saja selama diperbolehkan oleh
aturan hukum yang berlaku. Artinya, seseorang tidak melanggar etik apabila
hukum yang berlaku tidak mengatakan demikian. Namun, adanya aturan hukum yang tidak
mengakomodir penerapan etika moral masyarakat jika tidak diperbaiki akan
menimbulkan kerugian dikemudian hari.
Revitalisasi aturan hukum perlu dilakukan, dengan
cara menempatkan rakyat dalam pembentukannya terhadap setiap bentuk formasi
perintah kuasa, karna rakyatlah pembuat hukum yang sejati. Rakyat sebagai
pemilik kekuasaan perlu dilibatkan
secara terpadu, sebagai bentuk kekuataan Civil
Sociey, mengaplikasikan pelibatan berbagi pihak dan berbagai disiplin ilmu.
Hal tersebut merupakan unsur penting dalam upaya menciptakan pemerintahan yang
baik, bersih dan efisien serta sekaligus bentuk pengembangan demokrasi serta
mencegah penyalahgunaan wewenang oleh aparatur penyelenggara negara dan
pemerintahan. dengan pendekatan kolektivisme dan menentang individualisme.
Pembentukan Mahkamah Etik
Para pemimpin yang tidak memiliki integritas
akan membuka lebar abuse of power sehingga
perlu dibatasi dalam kekuasannya. Pembatasan tersebut dilakukan dengan membatasi
kekuasaan terhadap kekausaan yang lain. oleh karena itu, dalam mencegah adanya
tindak penyalahgunaan etika moral yang berdampak terhadap suatu kemunduran
penyelenggaraan negara. Maka perlu dibentuknya, Mahkamah Etik selain daripada
Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung.
Mahkamah Etik berperan dalam menciptakan
pemimpin dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien. Penguasa yang berdaulat merupakan
pemimpin dari negara. Oleh karena itu, masyarakat membutuhkan sosok pemimpin
yang memiliki integritas, kredibilitas serta kompetensi yang mampu mengakomodir
kepentingannya, agar dalam segala bentuk formasi perintah kuasa dapat
mengantarkan keadilan dan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Ditulis Oleh : Hilyatul Asfia
Dimuat Antarakaltengnews.com dimuat Sabtu, 18 Februari 2017
Link https://kalteng.antaranews.com/berita/262715/pejabat-negara-dalam-etika
berprofesi
Komentar
Posting Komentar